Sesungguhnya Allah Bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu Hai Ahlul Bait dan Membersihkan kamu Sebersih - bersihnya



Ya Allah , karuniakan padaku kalbu pecinta, kalbu yang dipenuhi kecintaan pada-Mu, dan semoga rahmah-Mu selalu turun atas kalbuku, Karuniakan padaku suatu kalbu yang tenggelam dalam kerinduan pada-Mu agar aku terlupa akan hiruk-pikuk Hari Pembalasan.






اللسلام علليكم ورحمة الله وبر كا ته

Hamdan li Robbin Khosshona bi Muhammadin
Wa anqodznaa bi dzulmatiljahli waddayaajiri
Alhamdulillahilladzii hadaanaa bi ‘abdihilmukhtaari man da’aanaa ilaihi bil idzni waqod

naadaanaa labbaika yaa man dallanaa wa hadaanaa
Shollallahu wa sallama wa baarok’alaih

Limpahan puji kehadhirat Allah SWT, yang memuliakan kita dengan undangan agung,

berkumpul dalam bangunan yang paling agung, dari segenap yang dibangun dibumi Allah,

yaitu bait min buyuutillah (rumah dari rumahnya Allah SWT).











Rabu, 01 April 2009

Abu Hamid Az-Zanji: Bersabar terhadap Hukum Allah SWT








"Apakah kau pikir ibadah itu hanya Shalat dan Puasa? tidak! Bahkan bersabar terhadap hukum - hukum Allah malah lebih utama daripada puasa dan Shalat"

Kita jarang mengenal kalangan sufi berkulit hitam. Sebetulnya, banyak kalangan sufi berasal dari Afrika, di antaranya yang terkenal adalah Abu Hamid Az-Zanji Al-Aswad. Gelar Al-Aswad (berkulit hitam) meneguhkan bahwa kehitaman kulitnya mempunyai keutamaan tersendiri.

Maulana Abdurrahman Jami dalam kitab Nafahat al-Uns min Hadharat al-Quds menulis bahwa Az-Zanji, ketika mencapai ekstase, kulitnya yang hitam berubah menjadi putih. Namun ketika dia tersadar, kulitnya kembali hitam.

Kisah hidupnya tidak terkumpul secara utuh, tetapi merupakan petikan dari berbagai kisah tutur para sufi yang pernah menemuinya. Salah satunya adalah Ibnu Syar’ah. Ketika Ibnu Syar’ah turun dari Masjid Jami’ Mesir, dilihatnya Abu Hamid Az-Zanji sedang mengerjakan shalat.

“Hai Abu Hamid,” Ibnu Syar’ah menyapanya seusai shalat. “Kau barusan turun dari maqam yang tinggi.”
Az-Zanji menyahut, “Aku turun untuk memberi syafa’at kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat.”

Maksud syafa’at ini bukan sebagaimana dimiliki Rasulullah SAW, tetapi doa kepada para pelaku maksiat yang memiliki potensi akan mendapatkan hidayah dari Allah SWT, dan akan menjadi seorang muslimin yang beriman dan bertaqwa. Doa seorang sufi dan wali merupakan benteng bagi umatnya, sehingga diharapkan Allah akan memberikan petunjuk ke jalan yang benar.

Menegakkan Syari’ah Islam
Abu Hamid Az-Zanji diperkirakan hidup pada abad ketiga Hijriyyah. Dia tinggal di Mesir setelah sebelumnya tinggal di Makkah selama 30 tahun. Sementara muridnya tersebar di seluruh Jazirah Arab. Di antara muridnya adalah Abu Ali Ar-Rudzabari, yang berada di Syam, seorang sufi terkenal pada masanya. Banyak di antara keluarga Ar-Rudzabari berguru kepada Abu Hamid Az-Zanji.

Ahmad ibn ‘Atha’ Ahmad Abu Abdullah Ar-Rudzabari adalah seorang mahaguru di negeri Syam pada masanya. Ia anak saudara perempuan (keponakan) Abu Ali Ar-Rudzabari, murid Az-Zanji. Dalam suatu kesempatan, Abu Abdullah Ar-Rudzabari mengatakan bahwa ia mendengar Al-Hasan ibn Muhammad Ar-Razi, yang berkunyah (bergelar) “Abu Ubayd”, mengisahkan, “Aku adalah seorang penjual pakaian. Suatu hari aku tertidur dan tiba-tiba ada suara ghaib mengumandang, ‘Apakah kau pikir ibadah itu hanya shalat dan puasa? Tidak! Bahkan bersabar terhadap hukum-hukum Allah malah lebih utama daripada puasa dan shalat’.”

Apa yang dikatakan Abu Abdullah Ar-Rudzabari bukan ingin merendahkan ibadah wajib, yaitu shalat dan puasa, tapi hanya mengingatkan perihal ajaran gurunya, Az-Zanji, bahwa para sufi tidak berhenti pada ibadah shalat dan puasa saja kemudian mereka berpuas diri dengan sembunyi dan jauh dari masyarakat. Apa yang dimaksud dengan “bersabar terhadap hukum-hukum Allah” adalah tetap berikhtiar dan berjihad dalam menegakkan syari’ah Islam. Pada masa itu terjadi Perang Salib dan penaklukan Jenghis Khan di berbagai negeri muslim.

Meski Az-Zanji berikhtiar dan berjihad dalam rangka memperbaiki umat Islam, ia tidak pernah meninggalkan masjid. Malah pernah, ketika tinggal di Makkah, tidak pernah dia duduk tidak menghadap kiblat. Di mana pun berada, dia selalu menempatkan posisi duduk menghadap kiblat.

Dalam puncak ibadahnya, kadang-kadang Az-Zanji tidak beranjak dari tempatnya di Masjidil Haram untuk beribadah, dan hanya keluar untuk bersuci. Sementara orang tidak mengetahui kapan dia makan d minum. Sebab, bagi seorang sufi, ketika berada pada puncuk “pertemuan” dengan Sang Khaliq, lapar dan dahaga tidak terasa lagi. Az-Zanji meninggal di Mesir pada akhir abd ketiga Hijriyyah. SB











Tidak ada komentar:

Posting Komentar