Sesungguhnya Allah Bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu Hai Ahlul Bait dan Membersihkan kamu Sebersih - bersihnya



Ya Allah , karuniakan padaku kalbu pecinta, kalbu yang dipenuhi kecintaan pada-Mu, dan semoga rahmah-Mu selalu turun atas kalbuku, Karuniakan padaku suatu kalbu yang tenggelam dalam kerinduan pada-Mu agar aku terlupa akan hiruk-pikuk Hari Pembalasan.






اللسلام علليكم ورحمة الله وبر كا ته

Hamdan li Robbin Khosshona bi Muhammadin
Wa anqodznaa bi dzulmatiljahli waddayaajiri
Alhamdulillahilladzii hadaanaa bi ‘abdihilmukhtaari man da’aanaa ilaihi bil idzni waqod

naadaanaa labbaika yaa man dallanaa wa hadaanaa
Shollallahu wa sallama wa baarok’alaih

Limpahan puji kehadhirat Allah SWT, yang memuliakan kita dengan undangan agung,

berkumpul dalam bangunan yang paling agung, dari segenap yang dibangun dibumi Allah,

yaitu bait min buyuutillah (rumah dari rumahnya Allah SWT).











Jumat, 31 Juli 2009

Tasawuf, Alternatif bagi Dahaga Rohani

Tasawuf, Alternatif bagi Dahaga Rohani

Tasawuf bukanlah salah satu cara untuk melarikan diri (eskapisme) dari kesulitan kehidupan, melainkan suatu keniscayaan seorang hamba.
Dewasa ini, kajian tasawuf mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perlahan tapi pasti, tasawuf mulai diterima. Dan bukan menjadi sesuatu hal yang kontroversial bagi sebagian umat Islam seperti beberapa abad silam, ketika para sufi banyak yang dianggap menyimpang. Fenomena seperti ini mengindikasikan cara keberagamaan masyarakat yang beralih ke cara sufistik.
Tasawuf sebagai segi batin agama -- sementara segi lahirnya disebut syari'ah -- adalah bidang ilmu keislaman yang bisa dibagi dalam tiga bagian: tasawuf akhlaqi, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal. Tasawuf akhlaqi meliputi tahalli (penyucian diri dari sifat-sifat tercela, menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap terpuji) dan tajalli, yaitu tersingkapnya Nur Ilahi.
Tasawuf amali ialah tuntunan praktis cara mendekatkan diri kepada Allah, yang identik dengan tarekat. Mereka yang masuk tarekat akan memperoleh bimbingan praktik atau amaliah bertasawuf. Sementara tasawuf falsafi ialah kajian secara mendalam dengan tinjauan filosofis dari segala aspek. Dalam tasawuf falsafi dipadukan visi intuitif tasawuf dan visi rasional filsafat.
Ajaran ketiga jenis tasawuf itu bermuara pada penghayatan terhadap ibadah murni (mahdhah) untuk mewujudkan al-akhlaq al-karimah (budi pekerti luhur), baik secara individual maupun sosial. Dengan demikian, tasawuf menjanjikan penyelamatan di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialistis, hedonis, pragmatis, sekular, serta kehidupan yang semakin sulit secara ekonomis maupun psikologis.
Tak pelak, tasawuf merupakan alternatif untuk memenuhi dahaga rohani dan mengatasi krisis kerohanian manusia modern, sehingga tidak mengenal jati diri, arti dan tujuan kehidupan. Maka, “mata air” tasawuf yang sejuk mampu menyegarkan dan menyelamatkan manusia yang (merasa) terasing.
Tasawuf yang cenderung lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragaman cara beragama belakangan ini menjadi alternatif bagi kaum muslimin di perkotaan. Bahkan kajian tasawuf pun cukup laku di beberapa kota besar. Dan semakin banyaknya peminat, buku-buku bertemakan hal-hal spiritual pun membanjiri toko-toko buku.
Ada yang bilang tasawuf adalah salah satu cara untuk melarikan diri (eskapisme) dari kesulitan menghadapi kehidupan. Tasawuf merupakan keniscayaan seorang hamba Allah SWT. Sesungguhnyalah, kehidupan di dunia tidaklah mungkin terelakkan sebagai rumah sekaligus kuburan manusia.
Persoalannya, bagaimana bisa hidup lebih baik di dunia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Kehidupan duniawi dan kehidupan spiritual ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Dalam kitabnya, Taj al-Salatin, sufi besar Melayu asal Aceh, Bukhari al-Jauhari, menulis, hidup manusia merupakan perjalanan dari Yang Abadi menuju Yang Abadi.
Menurut Julia Day Howell, pakar sufisme urban dari Univesitas Griffith, Australia, dalam sebuah kajian antropologis tentang gerakan sufisme di Indonesia, sufisme di perkotaan merupakan fenomena umum yang terjadi hampir di semua kota besar di dunia, termasuk Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Gerakan spiritual sebagian warga perkotaan di Indonesia mulai marak sejak tahun 1990-an ketika kegiatan para sufi mulai terlembagakan.
Sementara menurut Abdul Hadi WM, dosen filsafat Universitas Paramadina, Jakarta, sejak tahun 1970-an, terutama 1980-an, kebangkitan tasawuf mulai terlihat di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Pelopornya para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendikiawan.
Siapa yang berjasa menyebarkan tasawuf kepada masyarakat (modern) Indonesia? Menurut Dr. Said Agil Siradj, salah seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, pionir penyebaran tasawuf secara nasional di Indonesia, terutama kepada kaum terpelajar di kota-kota besar, ialah Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), melalui bukunya, Tasawuf Modern. Buya Hamka adalah ulama yang pertama kali mengangkat tema tasawuf di tingkat nasional.”
Melalui buku itulah Buya Hamka berhasil mencitrakan bahwa kaum sufi tidak lagi sebagai sekumpulan orang yang kumuh, sementara tasawuf adalah pola pikir keagamaan yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan modern. Begitu piawai Buya Hamka meyakinkan pembacanya, sehingga tak terasa mereka sudah bersentuhan dengan pikiran-pikiran cemerlang Imam Al-Ghazali. Meski dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, pemikiran tasawuf Buya Hamka mengacu pada tasawuf yang dianut Ahlus Sunnah wal Jamaah, dalam hal ini Nahdlatul Ulama.
Menurut Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta, tasawuf memiliki daya pikat karena mewakili dimensi keagamaan, yakni dimensi esoteris agama. Tasawuf menjanjikan pengalaman keruhanian manusia yang rindu untuk selalu dekat pada dan bersama dengan Allah SWT. Pengalaman mukasyafah (tersingkapnya jarak antara manusia dan Allah SWT), tidak akan terjadi selama manusia masih dibungkus oleh pakaian materi. Karena Allah SWT bersifat rohani, maka untuk bertemu dengan-Nya manusia haruslah berpakaian rohani, yang disebut zuhud.

Sang Walikota pun Memeluk Islam

Sang Walikota pun Memeluk Islam



Setelah bertahun-tahun merenung, ia menemukan kebenaran Islam. Reaksi pun bermunculan, tapi ia tetap tabah pada pendiriannya.

Untuk pertama kalinya selama 176 tahun, Kotamadya Macon, Georgia, Amerika Serikat, memiliki walikota berkulit hitam. Bahkan dalam pemilihan kedua, dia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua kali. Dia adalah Clearence Jack Ellis, 46 tahun, kelahiran kota Macon.
Sudah beberapa tahun ia merenungkan kebenaran agama Nasrani yang dipeluknya sejak lahir. Dan ketika Islam selalu dideskreditkan oleh sebagian warga AS –terutama sejak penyerangan terhadap WTC di New York pada 2001 silam– ia pun semakin penasaran.
Diam-diam ia membeli sebuah kitab suci Al-Quran terjemahan dalam bahasa Inggris dan mengkajinya. Setelah bertahun-tahun mempelajari dengan tekun dan jiwa bersih tanpa prasangka, hatinya tergugah. Ia menilai bahwa ajaran Islam jauh lebih logis. Terutama ajaran tentang tauhid, di mana Islam meyakini bahwa Tuhan adalah tunggal yaitu Allah SWT, berbeda dengan konsep trinitas dalam Nasrani.
Setelah berfikir cukup lama, ia memutuskan untuk memeluk Islam dengan mantap dan yakin. Maka, pada suatu hari di bulan Desember 2007, ia pun mengucapkan dua kalimah syahadah dengan bimbingan seorang imam masjid asal Senegal, Afrika Barat. Merasa bahwa ia adalah seorang pejabat publik, ia pun mengumumkan keisklamannya kepada warga kota Macon.
“Meskipun ini keputusan yang sangat personal, namun sebagai seorang walikota saya sadar betul, bahwa kehidupan saya akan menjadi sorotan publik. Karena itu mereka berhak tahu apa yang terjadi dengan saya. Saya sangat yakin, bahkan bangga, untuk menyatakan keimanan baru saya sebagai seorang muslim,” katanya mantap.
Namanya pun berganti menjadi Hakim Mansour. Namun, atas permintaan kedua puterinya, ia tetap menggunakan nama keluarga “Ellis” dibelakang nama barunya itu. Dan untuk melegalkan nama barunya itu, ia punn meresmikannya secara hukum, mesti banyak prosedur yang harus ia lakukan.
Sejak itu ayah lima anak itu mulai membiasakan diri menjalankan syariat Islam secara benar, seperti menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Dan di sela-sela aktivitasnya yang padat sebagai walikota, ia menyempatkan diri mengunjungi Islamic Center di Bloomfield Road, Macon, untuk mengikuti berbagai kegiatan dan dakwah Islam.
Tapi, keputusan Ellis ternyata mendapat reaksi, sementara kemuslimannya menjadi berita utama di berbagai koran di AS. Maklum, ia kan seorang pejabat publik. Apalagi kota Macon dikenal sebagai salah satu pusat aktivitas umat Nasrani di Negara Bagian Georgia. Bukan hanya itu, sebuah kelompok Kristen fundamentalis AS sempat menggelar jumpa pers untuk menuntutnya mengundurkan diri sebagai walikota.
Namun, Hakim Mansour Ellis tak bergeming sedikit pun. “Dengan memeluk Islam, saya merasa seperti terlahir kembali. Itu yang selama ini tak pernah saya rasakan sebelumnya. Jiwa saya menjadi sangat tenteram. Setelah bertahun-tahun merenung mencari hakikat kebenaran, saya menemukan kebenaran dalam Islam. Saya yakin Muhammad SAW adalah nabi terakhir,” katanya menjawab pertanyaan pers.
Dan sebagai muslim, sarjana bidang seni dari St. Leo College (Florida) itu tetap bekerja secara profesional, bahkan semakin bersemangat untuk terus berkarya dan memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. Selama menjabat sebagai Walikota Macon, ia dinilai oleh para pengamat politik Georgia telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan kotanya. Misalnya, membantu latihan kerja bagi anak-anak muda, menyusun program pengarahan, penyuluhan usai sekolah, serta program sosial untuk mengurangi tingkat kriminalitas. SEL, dari berbagai sumber.

Jejak Ulama Betawi: Meneguhkan Peran Majelis Ta’lim

Jejak Ulama Betawi: Meneguhkan Peran Majelis Ta’lim



Sistem halaqah atau majelis ta’lim merupakan keunggulan yang semoga akan terus dipelihara dalam menegakkan dakwah dan kaderisasi ulama di tanah Betawi.

Dalam rentang 482 tahun usia ibu kota Jakarta, gempita dakwah tetap terjaga. Fundamen kukuh yang dibangun para ulama dan habaib sejak kota ini bernama Sunda Kalapa lalu menjadi Jayakarta, Batavia, dan akhirnya Jakarta, telah tertancap kuat di tengah masyarakat Betawi.
Pergeseran zaman dan perputaran sejarah tentu membawa riak-riak yang mempengaruhi struktur dan gaya hidup masyarakat Betawi, tetapi tetap tidak mengubah akar mereka sebagai penganut Islam sehingga Betawi itu identik dengan Islam.
Sistem halaqah atau majelis ta’lim yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib, yang mengerti persis corak, kultur, kondisi sosiologis dan tuntutan masyarakat Betawi, telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi.
Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa Eropa.
Lebih jauh Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman penjajahan dulu.
Patut dicatat, Betawi pernah melahirkan ulama besar, yakni Syaikh Ahmad Junaidi Al-Batawi, yang pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Ia bermukim di Makkah sekitar tahun 1834 M. Salah seorang muridnya yang berasal dari Mester Jatinegara, yaitu Guru Mujtaba, juga ulama besar. Guru Mujtaba ini bermukim di Makkah sekitar 40 tahun dan menghasilkan ulama-ulama besar yang kemudian mengisi khazanah ulama Betawi, seperti Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Snouck mengomentari bahwa orang-orang Betawi adalah orang yang kental beragama Islam. Dari sisi keulamaan, Betawi dikenal karena adanya Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi yang dengan konsisten mengajarkan sendi-sendi Islam ke segenap masyarakat Indonesia.
Sikap konsisten Habib Utsman Bin Yahya ini menurun kepada ulama-ulama Betawi belakangan. Seperti Guru Marzuki dari Cipinang Muara, Jakarta Timur; Guru Manshur Al-Falaki dari Jembatan Lima, Jakarta Barat; Guru Mahmud Ramli dari Menteng Dalam, Jakarta Selatan; Guru Mughni dari Kuningan, Jakarta Selatan.
Secara spektakuler orang-orang Jakarta, yang terbingkai dengan sebutan Betawi, tidak bisa melepaskan sejarah hubungan formal mereka yang begitu kental dengan orang Betawi tempo dulu yang berada di Makkah, dari Imam Junaid sampai dengan Imam Mujtaba.
Beberapa guru dari Betawi yang pernah mengajar di Masjidil Haram, seperti Guru Mahmud Ramli, Menteng Dalam, memunculkan kekuatan yang dapat mengantisipasi skenario besar yang dirancang oleh dunia luar Islam, yaitu kaum penjajah, dengan warna kebencian Barat terhadap Islam.
Bila pada masa-masa itu di India orang mengenal Ahmadiyah, yang dimotori oleh penjajah Inggris, di Iran ada alirah Baha’iyyah, yang dimotori Rusia, di Indonesia muncul aliran-aliran yang dimotori oleh orientalis-orientalis seperti Snouck dan Vander Plast, yang dapat mengunci mati semangat perjuangan umat Islam.
Tapi kehadiran ulama-ulama Betawi bagaikan ikan yang terus hidup di laut tapi tidak pernah asin oleh asinnya air laut. Mereka mampu membentengi aqidah umat dengan istiqamah dan membuat warga Betawi tetap eksis dalam Islam.
Alhasil, setiap warga Betawi identik dengan pemeluk Islam. Sehingga menjadi aneh kalau, belakangan ini, ada orang mengaku asli Betawi tapi bukan muslim. Peran HalaqahMenurut Abdul Aziz dalam makalahnya, Peranan Islam dalam Pembentukan Identitas Kebetawian, kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 dapat dilihat dari kaitannya dengan perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat, terutama dengan munculnya ulama terkemuka di kalangan orang Betawi. Mereka adalah para ulama yang dididik di masjid-masjid Betawi lalu menuntut ilmu lanjutan di Tanah Suci.
Para ulama tersebut adalah kelompok terdidik yang secara perorangan maupun kolektif memiliki kemampuan mengembangkan solidaritas di kalangan masyarakat Betawi. Sebagaimana umumnya para haji di wilayah lain di Nusantara yang mengobarkan semangat anti penjajahan, pengalaman para ulama itu selama di Tanah Suci serta dedikasi mereka dalam berdakwah sekembalinya ke tanah air telah menempatkan mereka sebagai kelompok elite yang mampu memobilisasi dukungan masyarakat melalui fatwa-fatwa keagamaan, menumbuhkan proses identifikasi yang kuat terhadap Islam, dan menolak identitas lain selain Islam, termasuk penjajah.
Dalam masa ini perkembangan syiar Islam semakin intensif. Hal ini terlihat dari jangkauan wilayah dakwah para ulama itu, keberhasilan anak didik mereka menjadi juru dakwah di daerah mereka sendiri, serta penyediaan bahan bacaan keagamaan dalam tulisan Arab Melayu.
Enam “Pendekar” BetawiJaringan intelektual para ulama itu menampakkan bentuknya yang lebih jelas di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika sedikitnya enam orang ulama terkemuka berhasil melebarkan pengaruh keulamaan yang menjangkau hampir seluruh bagian Batavia. Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh enam “pendekar” itu kelak merupakan salah satu pilar kekuatan mereka sebagai kelompok elite yang diakui masyarakat.
Keenam ulama itu adalah K.H. Moh Mansur (Guru Mansur) dari Jembatan Lima, K.H Abdul Majid (Guru Majid) dari Pekojan, K.H. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gondangdia, K.H. Mahmud Romli (Guru Mahmud) dari Menteng Dalam, K.H Ahmad Marzuki (Guru Marzuki) dari Klender, dan K.H. Abdul Mughni (Guru Mugni) dari Kuningan.
Corak pendidikan para ulama tersebut, baik selama di tanah air maupun di Tanah Suci, sangat menentukan corak pemahaman Islam yang mereka sebar luaskan di kalangan orang Betawi. Ciri utama corak ini ialah kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi pemahaman Islam melalui khazanah intelektual sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab klasik berbahasa Arab.
Sejalan dengan pengalaman belajar mereka di Tanah Suci yang umumnya berbentuk pengajian halaqah di masjid, model belajar dan materi yang diajarkan kepada murid-murid mereka di tanah air juga tidak berbeda jauh dari pengalaman belajar mereka sendiri.
Pendidikan model madrasah sebenarnya telah dikenal di Makkah dan Madinah sejak abad ke-12 dan terus berkembang hingga masa kedatangan orang-orang Islam dari Nusantara, tetapi tidak banyak ulama Betawi abad ke-19 yang memanfaatkan madrasah sebagai tempat menimba ilmu.
Menurut K.H. Ahmad Junaidi, seorang ulama Betawi terkemuka yang pernah tinggal di Makkah selama enam tahun, hanya sedikit ulama Betawi yang belajar di madrasah. Sebelum tahun 1933, orang Betawi yang belajar di madrasah biasanya masuk ke Madrasah Saulitiyah, milik orang India. Sesudah muncul Madrasah Darul Ulum, yang didirikan orang Palembang pada tahun 1933, kebanyakan orang Betawi yang ingin belajar di madrasah masuk ke sini.
Alasan utama madrasah tidak terlalu diminati antara lain terletak pada masa belajar yang panjang dan alasan keuangan. Mereka memandang, apa yang dilakukan halaqah-halaqah di Masjidil Haram jauh lebih ideal, karena pelajaran yang dipentingkan adalah penguasaan kitab kuning (klasik).
Silsilah IntelektualDalam kaitan ini, sangat penting bagi mereka silsilah intelektual. Salah satu prinsip yang mereka anut, al-isnad (sandaran intelektual) merupakan sebagian dari urusan agama, karena tanpa itu setiap orang akan merasa berhak mengatakan apa yang diinginkannya.
Sebagian besar ulama Betawi abad ke-19 yang belajar di Makkah berguru kepada sejumlah ulama yang memiliki isnad dengan ulama-ulama terkemuka di Makkah dan Madinah (Haramain) abad ke-17, seperti Ahmad Al-Qusyasyi dan Abdul Aziz Al-Zamzami. Di antara guru-guru mereka yang paling luas dikenal adalah Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid, dan Syaikh Umar Sumbawa.
Mukhtar Atharid dan Umar Bajunaid memiliki isnad melalui Syaikh Abubakar Syatha Al-Dimyati, pengarang kitab I’anatut Thalibin. Sedangkan isnad Umar Sumbawa melalui Syaikh Abdullah As-Syarkawi, pengarang kitab Syarkawi. Kedua kitab tersebut merupakan kitab standar di kalangan ulama Indonesia.
Sebagian guru mereka tidak selalu memiliki isnad dengan ulama terkemuka di abad sebelumnya, namun mereka tetap memiliki isnad yang pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut oleh Guru Mansur sebagai Ma’dan al-Irfan, atau sumber ilmu pengetahuan, yaitu Rasulullah SAW. Demikian pula, para ulama Betawi abad ke-20 yang sempat bermukim di Haramain belajar kepada murid-murid para ulama Haramain yang pernah mengajar ulama Betawi di abad sebelumnya, sehingga isnad mereka tetap terpelihara.
Sebagaimana lazimnya tradisi halaqah, seorang ulama tidak pernah belajar hanya kepada satu guru, melainkan kepada banyak guru, sehingga terdapat isnad di mana sejumlah besar ulama Betawi pada kurun waktu tertentu belajar dari ulama yang sama dan menciptakan isnad yang bersifat kolektif, di samping ada pula isnad yang bersifat perorangan.
Berbeda dengan ulama di Jawa, yang pada umumnya mengembangkan pondok pesantren, para ulama Betawi tetap setia dengan model halaqah di masjid-masjid, sebagaimana mereka alami di Tanah Suci. Dari keenam ulama Betawi abad ke-19, hanya Guru Marzuki Klender yang mendirikan pesantren dengan santri mukim sekitar 50 orang, tapi kemudian tidak dapat bertahan sepeninggalnya.
Ulama lainnya yaitu Guru Mansur, yang sempat berkiprah mengajar di madrasah pertama di Batavia, Jamiat Kheir. Bukannya mendirikan pesantren, tetapi justru mendirikan Madrasah Perguruan Islam Al-Mansyuriah. Secara umum dapatlah dikatakan, para ulama Betawi yang lebih belakangan cenderung mengembangkan madrasah daripada pondok pesantren. Sehingga mereka memadukan penyelenggaraan madrasah dengan pengajian model halaqah di masjid.
Halaqah seorang ulama Betawi biasanya tidak terbatas di masjid yang berlokasi dekat rumahnya, tapi lebih dari itu, menjangkau ke berbagai tempat yang jauh. Contoh aktual K.H. Syafi’i Hadzami, salah seorang mua’llim Betawi yang disegani. Ia mempunyai 40-an halaqah di berbagai tempat.
Khusus tentang Mua’llim M. Syafi’i Hadzami ini, pada akhir Mei yang lalu diadakan seminar bertajuk Muallim Syafi’i Hadzami In Memoriam, yang menyigi pemikiran dan kiprah dakwahnya sehingga dia diakui sebagai ulama terkemuka yang berpengaruh.
Tiga Institusi Pendidikan AgamaSalah seorang muridnya, K.H. Syaifuddin Amsir, membawakan makalah Peran Halaqah dan Majelis Ta’lim di DKI Jakarta dalam Mencetak Ulama. Menurut Syaifuddin Amsir, di masyarakat Betawi, ada tiga jenis institusi pendidikan yang dijadikan tempat untuk mendidik anak-anak mereka di bidang agama. Yaitu pesantren, madrasah, dan majelis ta’lim (halaqah)
Khusus majelis ta’lim, ini merupakan instusi pendidikan yang memiliki fungsi strategis dalam memaksimalkan masjid sebagai tempat pendidikan umat. Hal ini dikarenakan sebagian besar majelis ta’lim dari dahulu sampai sekarang, khususnya di Betawi, menjadikan masjid sebagai tempat aktivitasnya, dan sangat berperan penting dalam melahirkan ulama Betawi yang mumpuni di bidangnya.
Salah satu contohnya, Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami,`allamah di bidang fiqih Asy-Syafi`i yang pengaruhnya sangat luas, bahkan sampai hari ini, baik di masyarakat Betawi maupun luar Betawi. Ia ulama produk asli dari binaan banyak halaqah dan majelis ta’lim di Betawi. Pada masa menuntut ilmu, tidak kurang dari 11 majelis ta’lim dengan 11 orang guru yang ia datangi dalam rangka menuntut berbagai disiplin ilmu agama. Setelah menjadi ulama, ia pun mengajar tidak kurang di 30 majelis ta’lim sampai akhir hayatnya.
Dari pengajaran majelis ta’limnya, terlahir ulama Betawi terkemuka, seperti K.H. Drs. Saifuddin Amsir, K.H. Maulana Kamal, K.H. Abdurrahman Nawi, dan lain-lain, yang mereka pun meneruskan pengajaran di majelis ta’lim, baik di tempat gurunya pernah mengajar, majelis ta’lim yang dibentuknya, maupun majelis ta’lim yang dimiliki pihak lain.
Tiga KelebihanKeberhasilan halaqah di Betawi dalam mencetak ulama paling tidak karena dua hal. Pertama, tidak adanya batasan waktu untuk menyelesaikan satu disiplin ilmu atau satu kitab. Kedua, anak didik atau murid mempunyai kebebasan waktu dan kesempatan untuk menanyakan dan menyelesaikan pelajaran yang tidak dia pahami kepada gurunya. Dan ketiga, anak didik atau murid langsung dihadapkan dengan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Walhasil, dalam beberapa kesempatan telah teruji bahwa lulusan majelis ta’lim memiliki pemahaman ilmu agama yang lebih mendalam daripada lulusan perguruan tinggi Islam. Bahkan menurut Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami, tidak sedikit sarjana bidang Islam yang bergelar doktor dan profesor menjadikan lulusan majelis ta’lim sebagai tempat untuk bertanya tentang masalah-masalah yang pelik di bidang ke-Islaman.
Ini sangat beralasan. Karena, jika dilihat dari kitab-kitab yang dibahas dan ditamatkan di majelis ta’lim, tidak banyak dikupas bahkan tidak pernah dibahas secara tuntas di perguruan tinggi Islam. Kitab-kitab yang diajarkan majelis ta’lim di Betawi antara lain Syarh Hidayah al-Atqiya`, Syarh al-Hikam, Kifayah al-Atqiya`, Anwar Masalik, Tanbih al-Mughtarrin, Minhaj al-`Abidin, Tanbih al-Mughtarrin (semuanya kitab tasawuf).
Kemudian Sab`ah Kutub Mufidah, Fath al-Mu`in, Bidayah al-Mujtahid, Mughni al-Muhtaj, Minhaj at-Tholibin, Al-Mahalli, Fath al-Qorib, Kifayah al-Akhyar, Fath al-Wahhab, Tuhfah at-Thullab (kitab fiqih). Lalu Riyadh ash-Sholihin, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Nail al-Awthar (kitab hadits).
Berikutnya, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir an-Nasafi, Tafsir Munir (kitab tafsir), Tarikh Muhammad (kitab sejarah), Al-Itqon Fi `Ulum al-Qur`an (ilmu Al-Quran). Selain kitab-kitab di atas, di antara ulama Betawi yang mempunyai dan memimpin majelis ta’lim ada yang mengajarkan kitab hasil karyanya sendiri, seperti K.H. Muhadjirin Amsar Ad-Darry, yang mengarang syarah kitab fiqih Bulugh al-Maram yang diberi judul Mishbah adz-Dzulaam sebanyak delapan juz.
Walau ia telah wafat, kitab Mishbah adz-Dzulaam sampai sekarang tetap diajarkan di beberapa majelis ta’lim yang dipimpin oleh muridnya atau milik orang lain, baik di Bekasi, di Jakarta (misalnya di Madrasah Al-Wathoniyyah 9, pimpinan K.H. Shodri), maupun di daerah lainnya.
Selain itu, kitab Taysir (kitab tajwid), karangan K.H. Abdul Hanan Sa`id (almarhum), yang sampai sekarang masih diajarkan di Majelis Ta’lim Manhalun Nasyi`in, yang kini dipimpin oleh murid K.H. Ali Saman, dan di tempat-tempat lain. Juga kitab-kitab yang dikarang oleh Mu`allim K.H. Syafi`i Hadzami.
Kitab karangan ulama Betawi yang diajarkan hingga ke luar negeri sampai sekarang, seperti di Malaysia, adalah kitab ilmu falak, Sullam An-Nayrain, karangan Guru Manshur Jembatan Lima. Sedemikian pentingnya halaqah dan majelis ta’lim bagi umat Islam, khususnya masyarakat Betawi, sebagai salah satu tempat utama dan terpenting untuk mencetak ulama masa depan. Maka tentu menjadi keprihatinan melihat kondisi halaqah yang secara fisik tempatnya tidak memadai lagi untuk digunakan. Belum lagi semakin rendah kemampuan para murid dan penyelenggara untuk membiayai operasionalisasinya.
Sudut Spiritualitas dan IntelektualitasKini sudah saatnya segenap pihak terkait memperhatikan secara lebih serius dan mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan keberadaan halaqah atau majelis ta’lim di ibu kota. Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami sendiri menyadari hal ini dan telah melakukan upaya tersebut melalui program Arbai`in (pesantren) dan mendapat dukungan dan sambutan yang positif dari berbagai pihak terkait, terutama Departemen Agama.
Demikian juga Kiai Syaifuddin. Ia menawarkan sebuah konsep tentang lembaga yang diberi nama Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Keberadaan lembaga ini pernah dimaklumatkan pada saat miladnya dan juga milad Mu`allim K.H. M. Syafi`i Hadzami, tanggal 31 Januari 2009 lalu.
Istilah Zawiyah Jakarta, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Sudut Jakarta”, sarat dengan makna sufistis. Zawiyah Jakarta adalah sudut spiritualitas yang diharapkan dapat mencerahkan dan membebaskan umat dari kesempitan hati yang berada di tengah-tengah pertarungan hidup dan bergulat dengan dengan segala persoalannya. Sudut spiritualitas yang menjadi rumah bagi siapa pun yang tersingkir dan merasa kalah oleh kekuatan dan tipu daya duniawi dan mendampingi mereka untuk mencapai derajat insan kamil.
Sedangkan Istilah Betawi Corner dicetuskan kemudian sebagai sudut intelektualitas yang melengkapi sudut spritualitas. Ini juga sebagai tandingan atau antitesa dari Sudut Amerika, American Corner, yang bercokol di berbagai kalangan universitas di Indonesia, yang ditengarai mempunyai agenda tersendiri untuk merusak Islam dan semua agama yang ada melalui liberalisme dan pluralisme agama.
Betawi Corner menjadi urgent karena melihat kondisi masyarakat Betawi sekarang ini yang sangat memprihatinkan. Dengan adanya Betawi Corner, diharapkan akan muncul ulama Betawi yang dapat berperan sama dengan para pendahulunya bahkan lebih, dan gagasan ini diharapkan dapat bersinergi dengan Jakarta Islamic Centre.
Adapun kegiatannya dimulai dari dua hal. Yaitu mengadakan isitighatsah Jakarta, istighatsah masyarakat dan ulama ibu kota, dan program Awwabin (program seperti Arbai`n tapi dilakukan ba`da maghrib).
Pemberdayaan UmatNama Betawi Corner kemudian disandingkan dengan nama Zawiyah Jakarta, sehingga menjadi Zawiyah Jakarta/Betawi Corner. Diharapkan, Zawiyah Jakarta/Betawi Corner dapat menjadi wadah pergerakan spriritualitas dan intelektualitas serta sebagai wadah pemberdayaan umat yang manfaatnya diharapkan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Betawi, tetapi juga oleh masyarakat luas.
Visi dan misi lembaga ini adalah menjadi pusat pergerakan spiritualitas, intelektualitas, dan pemberdayaan umat, khususnya untuk masyarakat Betawi.
Adapun fungsinya adalah, pertama, sebagai tempat pembinaan spiritualitas dan intelektualitas. Kedua, tempat untuk melakukan rekacipta kebudayaan Betawi yang Islami. Ketiga, tempat bertemu, berdiskusi, dan bermusyawarah bagi ulama dan masyarakat Betawi dan Jakarta untuk merespons persoalan-persoalan yang muncul.
Keempat, tempat yang melahirkan produk-produk pemikiran Islam kontemporer yang berpegang pada warisan khazanah Islam masa lalu. Kelima, tempat pembibitan dan pengkaderan ustadz-utadz muda Betawi yang diharapkan bisa menjadi ulama-ulama Betawi yang berkualitas, bukan saja untuk masyarakat Betawi, tetapi juga untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan di kemudian hari.
Keenam, sebagai tempat pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat Betawi khususnya tidak tertinggal di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi dengan akhlaq dan tingkat pemahaman ke-Islaman yang memadai.Halaqah atau majelis ta’lim memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi. Oleh karenanya diharapkan agar keberadaan halaqah dipertahankan dan mendapatkan perhatian khusus dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemprov DKI Jakarta.

Senin, 27 Juli 2009

HAUL MUHYIN NUFUUS SYAMSI SYUMUS KWITANG

Bulan Sya'ban

Bulan Sya’ban

Alhamdulillah Puji dan Syukur kita panjatkan Kepada Dzhat Yang mulia Allah Swt yang mana kita masih diberikan panjang umur sehat dan iman kepadanya.
Dengan kasih sayang Allah Swt kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk menemui bulan Sya’ban yang mulia ini, ketahuilah wahai kaum muslimin dan muslimat
Bulan Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia, bulan yang sangat mashur dengan keberkahannya, dan juga bulan taubat, Taat dibulan ini mendapatkan pahala yang berlipat ganda, siapa orang yang memanfaatkan bulan sya’ban ini untuk taat kepada Allah dia akan beruntung ketika datang bulan ramadhan, Bulan Sya’ban adalah bulan Nabi Muhammad Saw, seperti hadist mengatakan : Bulan Rajab adalah bulan Allah, bulan Sya’ban adalah bulanku, dan
bulan Romadhon adalah bulannya Ummatku, tetapi sedikit yang mengingat kemuliaan Bulan Sya’ban”.
berarti bulan ini adalah bulan Sholawat kepada Baginda Nabi Muhammad Saw didalam kitab tuhfatu ikhwan kita dianjurkan memperbanyak sholawat kita dibulan yang mulia ini.
Didalam kitab itupun Nabi Muhammad Saw berkata : Sesungguhanya malam Nisfu Sya’ban Allah Swt akan mengampunin semua dosa-dosa orang-orang muslim kecuali Dukun, Penyihir, peminum Arak dan Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Disunnahkan Menghidupkan malam nisfu Sya’ban Diriwayatkan Al Asfihani Didalam kitab ( Attarqib ) dari Mua’d bin jabal Nabi Muhammad Saw berkata : Siapa orang yang menghidupkan Lima malam ini balasannya adalah Syurga yaitu Malam Tarwiyah, Malam A’rofah, Malam I’dul Adha, Malam I’dul Fitri, dan Malam Nisfu Sya’ban.
Lima Malam yang disebutkan Nabi Muhammad Adalah Malam-malam ijabah mari kita ambil kesempatan yang masih Allah Swt memberikannya kepada kita, mudah-mudahan semua hajat kita dikabulkan Allah Swt.
Malam Nisfu Sya’ban Mempunyai Beberapa nama ini menunjukkan kemuliaan dari bulan tersebut antaralain : Allailatul Mubarokah, Laitul Baroaah, Lailatul Gisma wat Takdir, Dan Laitul Ijabah.
Diriwayatkan oleh sayduna Umar RA Nabi Muhammad Saw Berkata :
Ada lima malam dalam satu tahun yang mana apabila seseorang berdo’a dimalam-malam itu doanya tidak akan ditolak oleh Allah yang maha Mengabulkan,
diantaranya : Malam pertama dari bulan Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Jum’at, Malam Lailatur Qodar, Malam Dua Hari Raya.
Nikmat yang begitu besar Kita Bertuhan Kepada Allah dan Bernabi Kepada Nabi Muhammad Saw, yang mana dalam Satu tahun Banyak sekali fadilah-fadilah dan keutamaan Yang Allah Swt berikan kepada kita sebagai Ummat saiduna Muhammad, Tinggal kita sebagai manusia mau atau tidak mengambil fadilah itu, kita berdoa terus kepada Yang Mulia Allah agar kita selalu dimudahkan dan diberi kenikmatan beribadah kepadanya, ya Allah Ampunin Dosa-dosa Kami Semua.